[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]
MediaSport.id -Jeep Rubicon warna perak itu melesat kencang ke tengah kerumunan peserta lari Jakarta International Milo Run 2019 di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu pagi, 14 Juli silam.
Mobil itu menabrak anggota panitia lomba. Si pengendara panik. Insiden itu viral di media sosial dan lalu ditangani intensif oleh polisi.
Tapi dari insiden itu muncul fakta bahwa Jakarta menghadapi masalah lahan untuk acara-acara seperti lomba lari, justru ketika demam lari telah merasuk warga ibu kota sejak 2014 sampai-sampai fasilitas umum pun kerap disulap menjadi arena olah raga.
“Lintasan lari masih mengandalkan infrastruktur jalan umum ibu kota,” kata Sport Marketing Manager Nestle Milo Donny Wahyudi.
Padahal jalan umum itu belum tentu aman. Kawasan Monas di Jakarta Pusat misalnya, tidak steril untuk kegiatan-kegiatan olah raga karena di sana sini para pedagang kaki lima menghambatnya.
Panitia lomba olah raga kerap mengeluhkan PKL-PKL ini karena sering mengurangi keoptimalan event-event olah raga dan rekreatif warga Jakarta seperti pada acara Car Free Day.
“Kita punya area luas, jalur yang lurus, tapi kurang steril,” kata Donny.
Masalah kesterilan jalan ini pula, dan juga area ‘bottleneck’, di beberapa kawasan yang sebenarnya ideal untuk lomba, yang mendorong panitia Jakarta International Milo Run 2019 memilih Jalan H.R. Rasuna Said di daerah Kuningan sebagai lintasan untuk 6.000 orang mengisi waktu luang hari libur dengan berlari.
Jalan HR Rasuna Said terbilang lapang dan dua jalurnya, yakni lambat dan cepat, membuat jalan itu bisa dibagi untuk lintasan lari dan jalur kendaraan
Tapi atlet lari nasional Agus Prayogo, justru menyebut Bumi Serpong Damai di Tangerang Selatan sebagai area favorit untuk berlatih.
“Sebenarnya lintasan lari di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta juga ideal untuk event lari. Tapi kemarin kan masih ada proyek pembangunan Mass Rapid Transit (MRT),” kata Agus.
Buka jalur baru
Dinas Pemuda dan Olahraga DKI Jakarta sedang mempertimbangkan pembukaan jalur baru untuk lomba lari skala internasional di sejumlah ruas jalan ibu kota.
Saat ini baru ruas jalan di kawasan Monas dan Jalan H.R. Rasuna Said yang sudah terverifikasi oleh Asosiasi Internasional Federasi Atletik (IAAF) sebagai lintasan berstandar internasional untuk event lari,” kata Kepala Dispora DKI Jakarta Achmad Firdaus.
Verifikasi ini menyangkut kriteria-kriteria mendasar seperti tingkat keamanan, standar lintasan, dan fasilitas pendukung.
Achmad menyebut minat warga Jakarta dan sekitarnya untuk mengikuti lomba lari terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Antusiasme tinggi masyarakat dalam mengikuti lomba lari, perlu difasilitasi dengan sarana dan prasarana yang ideal.
Dispora DKI juga berencana menambah cabang olah raga untuk dikompetisikan pada level nternasional, seperti balap sepeda. Selain itu, mengikutsertakan kaum difabel sebagai peserta.
“Kami akan tambah ruas kilometernya. Atau apakah mungkin jalurnya dipindahkan ke sisi utara atau selatan Jakarta, kami akan evaluasi serta akan ada penilaian dari atletik internasional,” kata Achmad.
Panas dan berpolusi
Bukan hanya soal steril tidak steril dan lahan yang terbatas, polusi adalah hal lain yang menjadi tantangan orang-orang yang mengikuti lomba lari atau sekedar lari untuk santai dan meneruskan gaya hidup sehat di Jakarta.
Panas, adalah kata pertama yang terlontar dari Eva Fahaz (34), peserta Jakarta International Milo Run 2019 dari Bandung.
“Padahal masih jam 06.00 WIB. Baru dilepas dari garis start, keringet sudah ngucur, belum juga 1 kilometer,” timpal suaminya, Fajar Arrozaq (35).
Eva mengkritik kadar udara Jakarta yang cenderung tidak sehat untuk yang sedanga berolahraga sekalipun.
Situs penyedia peta polusi daring harian kota-kota besar di dunia, AirVisual, pada Juni 2019 memasukkan Jakarta sebagai kota yang unhealty atau tidak sehat.
Tanda kota yang tidak sehat, mengutip Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) Ahmad Safrudin, adalah langit kelabu yang menang kerap menggayuti Jakarta.
Buktinya, pantauan Pemerintah DKI Jakarta sepanjang 2012- 2017 dan data Kedutaan Besar Amerika Serikat periode 2016- 2017 menunjukkan tingkat pencemaran udara Jakarta memang tinggi dengan parameter dominan PM2,5, PM10 dan SO2, meskipun selama separuh pertama 2018 data-data ini membaik.
Ahmad menyebut sumber pencemaran udara Jakarta berasal dari kendaraan bermotor (47 persen), industri (22 persen), debu (11 persen), domestik (11 persen), pembakaran sampah (lima persen), dan proses konstruksi (empat persen).
Demam lari
Bahkan di bawah panas dan tidak sehat seperti itu, Jakarta tetap menjadi salah satu surga untuk pecinta lari.
Perusahaan media Runhood Grup yang menggarap bisnis informasi olah raga lari merilis bahwa pada 2018 ada 781 event lari di Jakarta atau dari sekitar 300-an event pada 2014.
Situs kalenderlari.com merilis rata-rata dua hingga tujuh event lari di Jakarta setiap akhir pekan sejak Juni 2019, dengan peserta ribuan orang.
Lari sudah identik dengan kekinian. Ia menjadi gaya hidup. Orang-orang berkantong tebal beralih ke lari. Atribut dan perlengkapan yang dipakai pun cenderung bermerk sebagai lambang kemapanan, sementara komunitas lari tumbuh di mana-mana.
Indra Maulana, pelari yang tergabung dalam CEO Runners misalnya, dulu adalah penghobi golf, tapi hobi ini sudah dia tinggalkan sejak Januari 2018. Indra kini menggemari lari, bahkan aktif mengikuti lomba lari ke mana-mana.
“Gengsinya golf itu kan karena peserta dari kalangan mapan dan menjadi ajang lobi sambil berolahraga. Tapi lari pun tidak kalah. Bangganya itu saat kita mengoleksi medali, apalagi kalau dari even di luar negeri,” kata warga perumahan Summarecon di Kota Bekasi yang telah mengoleksi sedikitnya empat medali mancanagara dan belasan medali level Jabodetabek.
Event lari telah merambah siapa pun, sampai organisasi sosial pun memanfatkan event ini untuk menggalang dana untuk kampanye-kampanye sosial, seperti dilakukan Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada (Kagama) yang menggelar event lari bertajuk “Kagama Berbagi Untuk Pelari” untuk menggalang dana untuk beasiswa pendidikan bagi junior-junior mereka yang masih berkuliah di UGM.
“Per kilometer lari, kita danai dengan besaran donasi yang disepakati bersama para alumni. Dana yang terhimpun kita sumbangkan untuk beasiswa adik kelas di UGM atas nama pelari. 2018 terkumpul hingga Rp100 juta lebih,” kata anggota Kagama, Farid.
Hal sama ditempuh Second Chance Charity Run 2019 demi mengajak 3.000 orang berolahraga sambil beramal. RTp50 ribu dari setiap pendaftaran peserta akan disalurkan sebagai donasi untuk meningkatkan kualitas hidup warga binaan.
Founder Second Chance Foundation Evy Amir Syamsudin mengharapkan acara ini mendorong masyarakat turut menyumbangkan dana untuk perbaikan kualitas hidup warga. (antara)