Site icon MediaSport Indonesia

Napoli Juara, Cristiano Ronaldo Pemain Juventus Terburuk Di Lapangan

[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Artikel”]

MediaSport.id Cristiano Ronaldo selalu berjaya di 11 final beruntun untuk klub dan negaranya antara Agustus 2014 dan Juni 2019. Tetapi sekarang ceritanya lain, untuk pertama kali sepanjang karier, dia kalah dua kali berturut-turut.

Coppa Italia mungkin bukan menjadi prioritas bagi Ronaldo, tetapi kekalahan tetaplah kekalahan dan terasa menyakitkan.

Sang bintang terlihat kecewa berat karena gagal mendapat giliran menendang penalti di Stadio Olimpico dini hari nanti. Kegagalan Paulo Dybala dan Danilo mengandaskan harapan juara Juventus.

Andai Ronaldo mendapat giliran menyepak memang belum tentu menggaransi si Nyonya Tua berjaya. Jangan lupa, dia gagal menyarangkan bola dari titik putih di semi-final lawan AC Milan dan di laga itu juga aksinya kurang memukau.

Bagaimana dengan aksi di Roma? Pemain terburuk di lapangan, demikian klaim Gazzetta dello Sport.

Mantan bomber Bianconeri Luca Toni juga jauh dari terkesan. Kepada Rai Sport dia mengatakan, “Ronaldo bahkan kesulitan mengalahkan penjaganya.”

Tetapi apakah Ronaldo layak jadi kambing hitam kekalahan Juve? Sebenarnya tidak juga.

Pada titik ini, pembicaraan terfokus pada bagaimana pemenang lima Ballon d’Or tersebut bermain buruk. Tetapi, bagaimana bisa itu terjadi?

 

Mari kita arahkan telunjuk kepada Maurizio Sarri.

Pelatih Juventus tersebut punya catatan yang kurang menggembirakan. Jelang final, banyak media Italia yang menyorot fakta sang pelatih belum pernah meraih gelar mayor Italia.

Setelah Juventus tunduk di hadapan Napoli, raut wajah sang juru taktik terlihat kecewa.

“Setelah pertandingan saya tidak banyak berkata pada para pemain,” akunya pada RAI. “Saya marah dan kecewa sama seperti mereka. Jadi untuk sekarang lebih baik untuk bungkam.”

Suasana kebalikan terlihat di kubu Partenopei. Gennaro Gattuso tidak dapat menahan diri untuk mengucapkan terima kasih kepada para pemain yang telah memberinya gelar perdana sebagai pelatih.

Ada baiknya juga pertandingan digelar tanpa penonton, karena mereka yang menyaksikan duel di televisi dapat mendengarkan komentar penuh gairah dari sang mantan gelandang Italia itu setelah pertandingan.

 

“Saya melihat hati dan saya melihat karakter,” ujarnya tentang pasukan Napoli. “Ada pemain yang kontraknya segera berakhir dan akan pergi. Tetapi saya melihat mereka menangis. Saya sangat bangga.”

Ketika Gattuso mengeluarkan puja-puji terhadap semangat para pemain, Sarri mengeluhkan kebugaran tim.

Lesu memang, dan tentu saja hal tersebut terkait dengan penundaan tiga bulan karena wabah virus corona.

Tetapi apakah Juve juga tampil perkasa sebelum jeda? Tim Turin ini hanya mengemas empat kemenangan dari sepuluh pertandingan terakhir di semua kompetisi.

Sarri didatangkan Juventus bukan hanya untuk memenangkan trofi, tetapi melakukan itu dengan gaya yang luar biasa. Apa yang terjadi sekarang? Bukan keduanya.

Setelah final Juan Cuadradro mengklaim Napoli bertahan habis-habisan. Memang seperti itu kenyataannya, sama seperti ketika mereka menghadapi Inter di empat besar.

 

Tetapi akan menjadi lucu untuk menyebut Napoli hanya bertahan dan tidak melakukan yang lain – atau lebih jauh lagi menyebut mereka tidak layak menang.

Juventus tidak beruntung di adu penalti? Lebih tepatnya mereka beruntung bisa melangkah lebih jauh. Andai saja bukan Gianluigi Buffon yang berdiri di bawah mistar gawang, Bianconeri berpotensi tersungkur di waktu normal.

Kiper berusia 42 tersebut mencatat sejumlah penyelamatan sensasional dan penting selama 90 menit pertandingan. Dia masuk dalam sedikit pemain Juve yang bermain bagus, bersama Matthijs de Ligt dan Alex Sandro.

Di sebagian besar pertandingan, Juve membosankan apalagi jika dilihat dari sudut pandang serangan. Tidak ada kreativitas dari lini tengah.

Justru Napoli yang lebih mengancam. Mereka punya tujuh tembakan ke arah gawang, sementara Juve hanya tiga.

Permainan pasukan Gattuso mungkin tidak enak untuk dilihat, tetapi begitu juga dengan Juve, sama sekali tidak efektif.

Dini hari tadi hanya ada atu tim dengan identitas jelas; yaitu tim yang mengeksekusi instruksi pelatih dengan sempurna. Dan kita tidak sedang membicarakan tim yang sedang memburu Scudetto kesembilan secara beruntun.

Saat ini Juve masih menyandang status Capolista, mereka unggul satu poin dari Lazio, sebuah tim yang berhasil menghajar Bianconeri di Supercoppa Italiana dan masih harus terbang ke Turin di liga.

 

Si Nyonya Tua tentu saja masih berstatus favorit juara karena punya tim yang tebal, tetapi penampilan buruk dini hari tadi hanya akan menambah kepercayaan diri Biancocelesti.

Sekarang Juve terlihat datar dan bisa dikalahkan.

“Buffon adalah pemain terbaik di lapangan, tetapi pemain Juve lainnya kesulitan, bahkan Ronaldo, yang terlihat seperti pemain normal dengan gaya bermain yang lambat,” cetus Toni.

Sebelum final Buffon kepada DAZN mengatakan jika Juventus milik Sarri yang asli baru akan terlihat pada msuim depan, tetapi apakah dia akan diberi kemewahan waktu mengingat kesabaran di Turin semakin tipis?

“Napoli berjaya, bencana Sarri,” demikian headline harian Turin Tuttosport pada pagi hari.

Supercoppa dan Coppa Italia memang bukan tujuan utama Sarri, tetapi dia tidak boleh terus-terusan menelan kekalahan di final. Juventus tidak bisa memberi toleransi seperti itu.

Dan… begitu juga dengan Ronaldo!  (msn)

Exit mobile version